Top Secret Konflik Poso Dibuka (Ternyata Bukan Sara)

Leave a Comment
Konflik Poso Ternyata Tidak Semata Mata Agama Konflik Poso yang selama ini banyak tercitrakan sebagai konflik agama sesungguhnya adalah konflik politik. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan substansi agama. Konflik itu mulai muncul saat terjadi perebutan kekuasaan bupati di Poso yang bersamaan dengan momentum religius, yaitu Natal dan Ramadhan. Ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan momentum tersebut untuk tujuan politik dengan mengeksploitasi perkelahian dua pemuda bernama Roy dan Ridwan yang berbeda agama sehingga pecahlah konflik Poso. “Ketika konflik menyentuh agama maka akan sulit dikendalikan dan berkepanjangan,” ungkap Hasrullah, dosen Komunikasi Politik Universitas Hasanuddin dalam forum dialog perdamaian di Jakarta, Selasa (23/6). Ikut hadir para tokoh dari beberapa daerah yang ikut dalam proses penyelesaian konflik. Hasrullah yang juga penulis buku Dendam Konflik Poso menegaskan, esensi konflik di Poso adalah konflik politik, tetapi yang tampak adalah konflik antaragama yang berujung pada pembantaian dan dendam antarumat beragama. “Temuan di lapangan, motif agama tidak terbukti melainkan perebutan kepentingan,” ucapnya. Temuan lain, selain faktor perebutan kekuasaan politik, konflik juga dipicu oleh soal lain. Penguasaan sektor ekonomi, politik, dan pertanian oleh para pendatang menyebabkan masyarakat pribumi merasa termarjinalisasi. “Itu menimbulkan ketegangan antara pendatang dan pribumi,” ucapnya. Fakta lain, paparnya, selama konflik terjadi, pemberitaan media massa lokal melaporkan berita yang tidak sesuai fakta sehingga menaikkan eskalasi konflik. Ada pihak-pihak yang bermain menyesatkan informasi. “Seharusnya pemerintah dan aparat berperan sebagai regulator informasi,” katanya. Selain itu, lanjutnya, para elite politik juga menggunakan agama sebagai kendaraan bahkan tameng politik untuk mencapai kekuasaan dengan mengeksploitasi pesan-pesan religius. “Ketika konflik, penggunaan kalimat kemuliaan seperti Allahu Akbar dan Haleluya mengentalkan militansi agama sehingga memunculkan dendam,” terangnya. Temuan terakhir, kata Hasrullah, selama konflik, para elite politik mengikutsertakan elite agama untuk melakukan pencitraan terhadap institusi keagamaan. “Penduduk pribumi sebelum konflik sangat toleran dan menerima pendatang. Namun, karena politik semua berubah,” ucap Hasrullah. Untuk itu, lanjutnya, perlu ada komitmen politik dari pemerintah dan elite politik mulai dari pusat hingga daerah untuk memperhatikan komposisi penduduk berdasarkan agama dalam sirkulasi kekuasaan. “Agar statement berbau SARA di masyarakat dapat dicegah,” ujarnya. Sumber : Kompas
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment