Tak terasa sudah sebulan lebih saya vakum menulis di Kompasiana, karena kesibukan di tempat kerja dan juga entah kenapa otak jadi beku hingga bingung mau menulis apa. Hingga akhirnya hari ini, saya membaca sebuah artikel tentang kasus yang sedang ramai dibicarakan dan menggelitik insting menulis saya untuk segera menumpahkan isi kepala. Hehe… Ada yang bisa menebak kasus yang saya maksud? Saya rasa teman-teman sudah tahu apa yang hendak saya bicarakan kali ini. Ya! Kasus tawuran di sebuah sekolah negeri Jakarta yang melibatkan wartawan dan polisi.
Tawuran rasanya bukan sesuatu yang baru kita
dengar yah. Sepertinya sejak zaman ayah-bunda atau mungkin kakek-nenek kejadian
ini sudah sering terjadi, pertikaian siswa antar sekolah. Entah apa yang
menyebabkan pangkal keributan. Umumnya masalah gank-gankan kah? Selain itu
dalam periode tertentu, media pasti ada saja meliput tentang siswa sekolah yang
tawuran. Meski saya tidak selalu membaca artikel tersebut, tapi jujur saja,
dari judul tawurannya saja sudah menganggu. Kali ini, satu sekolah disorot
habis-habisan karena aksi salah satu siswanya yang–menurut berita yang
beredar–melakukan tindak kekerasan pada salah satu wartawan yang hendak
meliput. Dalam pandangan saya, karena peristiwa ini melibatkan wartawan sebagai
korban, maka berita menjadi besar dan disorot khalayak. Bisa jadi karena
solidaritas sesama pekerja media, wartawan dari media lain turut menghembuskan
berita ini hingga terdengar kemana-mana, membuat satu nama sekolah ini menjadi
“terkenal”.
Yang menggelitik indra saya bukanlah masalah
sikap media yang menggemakan berita ini, tapi budaya tawuran itu sendiri yang
masih awet hingga kini. KENAPA?
Masih segar di ingatan saya, sejak SD kita sudah
diajarkan budi pekerti melalui pelajaran PPKn (pada zaman saya disebut dengan
nama itu), juga ada pelajaran agama, yang intinya harus saling menghargai
dengan orang lain, tenggang rasa, dan kawan-kawannya. Tidak ada satu butir pun
dari pelajaran sekolah yang mengajarkan tindak kekerasan. Dari mana hasrat
tawuran itu berasal dan kenapa bisa membudaya? Apakah sekolah sebagai
penyelenggara pendidikan bisa dikatakan gagal dalam mendidik akhlak para calon
penerus bangsa? Atau orangtuanyakah yang kurang bisa mendidik mereka untuk
tidak menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar masalah?
Menurut pengamatan saya, orang berkelahi biasanya
dikarenakan gelegak emosi yang tak terkendali hingga merangsang saraf motorik
menggunakan anggota tubuh untuk menyerang orang yang membuat mereka emosi,
sekaligus untuk meluapkan emosi itu sendiri. Bisa dikatakan, adanya perkelahian
adalah karena kurang bisanya seseorang dalam mengontrol emosi mereka. Seseorang
yang kurang bisa mengontrol emosi, kepada siapa mereka harus berlabuh agar
dapat menguasai diri mereka sendiri? Sekolah melalui bimbingan konseling?
Orangtua? Lembaga keagamaan?
Ironisnya adalah, kata tawuran kerap
diasosiasikan kepada lembaga pendidikan. Sebuah institusi untuk mendidik para
calon penerus bangsa agar kelak dapat memberikan kontribusi yang baik di
masyarakat. Kejadian tawuran di institusi tersebut jelas akan mencoreng nama
sekolah tersebut karena dinilai tidak mampu menjaga anak-anak didik mereka
terhindar dari bentrokan fisik. Tidak mampu mengajari siswa menjauhi aksi
premanisme.
Semakin ironis ketika mendapati betapa bangga
siswa tersebut telah melakukan aski kekerasan. Seperti yang terangkum dalam
artikel salah satu rekan Kompasianer kita Dearmarintan, dia mengutip ungkapan-ungkapan para siswa
yang terlibat melalui akun jejaring sosial mereka. Miris sekali membacanya. Ya
Tuhan! Hei, kalian adalah orang-orang yang terdidik, tidak seharusnya
bangga dengan melakukan kekerasan. Kalian terpelajar, bertindaklah seperti
orang terpelajar. Apakah masalah tidak bisa diselesaikan secara damai
saja? Ingin rasanya saya berteriak seperti itu.
Saya memikirkan bagaimana perasaan orangtua
mereka melihat anaknya berkelakuan demikian… Susah payah menghasilkan uang agar
anaknya dapat sekolah dengan layak, menjadi orang, dan memiliki kehidupan yang
jauh lebih baik daripada orangtuanya sendiri, tapi ternyata malah adu jotos di
sekolah. Trenyuh. Belum lagi, jika ada salah satu anak yang menjadi korban,
entah luka atau meninggal karena tawuran, saya yakin tidak ada satu kata pun
yang mampu melukiskan betapa sakit dan hancur hati orangtua sang korban.
Sekolah bukan untuk belajar tindakan kriminal kan? Yang terburuk, jika ada
orang yang menjadi korban salah sasaran, aduh… speechless.
Melihat fenomena ini saya jadi berpikir, apakah
kurikulum sekolah terlalu menitikberatkan pengembangan intelegensia dibanding
pengembangan emosi (EQ), padahal setahu saya kini di perusahaan-perusahaan pun
lebih mempertimbangkan calon karyawan yang memiliki EQ tinggi daripada IQ.
Apakah Mendiknas perlu mengkaji ulang kurikulum pendidikan? Jika lembaga
pendidikan tidak mengambil langkah pasti untuk memerangi aksi kekerasan yang
dilakukan siswa, saya khawatir bagaimana mereka ke depannya? Bagaimana jika
suatu hari mereka harus memimpin masyarakat? Apakah mereka akan mempertontonkan
kembali aksi kekerasan di gedung parlemen?
Saya mengerti bahwa mereka masih usia pubertas,
bisa dibilang masih labil dan tengah mencari jati diri, justru pada masa-masa
transisi inilah perlu ada pihak yang mampu membimbing pembentukan karakter dan
kepribadian mereka. Saya tidak secara penuh menuding lembaga pendidikanlah yang
harus bertanggungjawab, tapi lembaga pendidikan memegang peranan penting di
samping orangtua mereka, untuk turut mengarahkan mental anak didiknya. Selain
itu, anak-anak lebih banyak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah
bukan? Jangan sampai kita kecolongan generasi muda yang berpotensi hanya karena
kurangnya pengarahan dalam pembentukan kepribadian mereka. Besar sekali harapan
saya bahwa budaya tawuran ini lenyap dari bumi Indonesia dan benar-benar
menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang cinta damai.
Dari : muda.kompasiana.com
0 Comments:
Post a Comment